Dalam Pilkada Serentak 2024 tercatat sekitar 175 kasus yang diklasifikasikan sebagai dinasti politik (anak, menantu, saudara) menurut survei/analisis. Sebanyak 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota akan menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 27 November 2024 nanti. Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, politik dinasti kian mewabah pada helatan tersebut. Berdasarkan data yang dimilikinya, dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2014, ada sekitar 60 kepala daerah dan wakil atau 11 persen dari jumlah daerah otonom menerapkan politik dinasti. Angka itu mengalami peningkatan menjadi 117 kasus politik dinasti atau 21,5 persen dalam Pilkada 2018.
Pasal 7 huruf r dalam beleid itu mengatur bahwa seseorang yang mempunyai hubungan darah atau konflik kepentingan dengan pejawat alias incumbent tidak diperbolehkan maju menjadi pemimpin daerah. Namun, aturan itu kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Prof Djo mengatakan, harus ada perbaikan regulasi untuk mencegah terjadinya politik dinasti. Pasalnya, apabila tidak ada perbaikan regulasi, persoalan itu akan terus berulang. "Kalau ada kerabat maju, saran saya si pejawat (incumbent) cuti lah. Dia tidak bisa kita larang karena melanggar hak asasi, tapi cuti lah. Cuti saja, di luar tanggungan negara, selama kampanye," kata dia.